Menulis tentang sahabat saya Ferrasta Soebardi, atau yang
akrab kita panggil Mas Pepeng, di tengah suasana Idul Adha membawa saya
pada pertemuan dua peristiwa yang berujung pada satu konsep penting
dalam ajaran Islam, yaitu percaya dan prasangka baik kepada keputusan
Allah SWT.
Ketika Nabi Ibrahim AS menerima perintah untuk menyembelih
anaknya, Ismail AS, anak yang sudah lama didambakannya, ia sempat
sedetik bertanya. Malah sang anaklah yang mengingatkan dan meneguhkan
keyakinan ayahnya untuk senantiasa percaya dan berprasangka baik
terhadap perintah dan keputusan Allah SWT.
Kita belajar, Ibrahim adalah seseorang yang sedari muda
“mencari Tuhan”, menempuh jalan penuh gelisah untuk menemukan hakikat
kemanusiaan, yaitu hadirnya Tuhan dalam hidup manusia. Ibrahim bertanya,
apakah bulan, apakah matahari, yang merupakan Yang Maha Kuasa bagi
manusia. Ternyata tidak. Ibrahim bahkan bereksperimen “membunuh
Tuhan”—istilah yang dipopulerkan oleh filsuf Friedrich Nietzsche—dengan
menghancurkan berhala-berhala yang disembah lewat ayunan kapaknya,
dengan risiko hukuman yang bisa menghilangkan nyawa.
Maha Besar Allah, Dia akhirnya menuntun Ibrahim untuk
menemukan jalan tauhid, percaya pada Allah Yang Esa dan bersaksi
bukanlah bulan atau matahari—sekalipun mempesona dan tampak adidaya—yang
menjadi Maha Kuasa bagi hidup manusia. Allah Yang Maha Esa lagi Maha
Kuasa. Dari perjalanan itu, dalam kajian filsafat dan sosiologi agama,
Ibrahim diberi julukan “bapak monoteisme umat manusia”.
Lalu, apa pelajaran dari perjalanan Ibrahim yang bisa
gunakan untuk memaknai perjalanan sahabat kita Pepeng? Ternyata,
perjalanan “mencari Tuhan” telah disediakan oleh—tak lain dan tak
bukan—Allah SWT sendiri. Allah membukakan begitu banyak pintu-pintu
menuju diri-Nya lewat pemaknaan jalan hidup yang ditempuh oleh
masing-masing makhluk.
Kita mengetahui sudah cukup lama Pepeng diberi ujian berupa
penyakit langka yang mungkin belum ada obatnya. Penyakit itu merampas
mobilitasnya, sesuatu yang tentu sangat membuat sedih bagi seniman dunia
hiburan seperti Pepeng. Saya masih ingat, ketika kampanye PKS di Gelora
Bung Karno tahun 2004, Pepeng berdiri di panggung sebagai salah satu
pembawa acara, membakar semangat sambil sesekali menggocek tawa.
Saya tetap ingin memandang Pepeng sebagaimana sang seniman
panggung itu mengarahkan acara puncak kampanye PKS pada fase awal yang
penting dalam demokratisasi Indonesia tersebut. Dia tampak gagah, tapi
juga santai, percaya diri, namun tetap membumi dan rendah hati. Puluhan
ribu kader PKS dan para undangan berteriak bersama, tertawa bersama,
bernyanyi bersama, dan berbagi semangat bersama, di bawah komando sang
dirigen acara: Pepeng.
Bahwa sekarang Pepeng sedang diminta untuk tidak terlalu
banyak bergerak, itu adalah cara Allah menyediakan banyak waktu agar
Pepeng dapat berkontemplasi, berbagi waktu dengan anak-anak, serta
memperkuat rajutan kasih sayang bersama istri tercinta.
Mengapa saya bisa sampai pada kesimpulan itu? Karena saya
ikut berbesar hati dengan cara Pepeng merespons kondisinya. Ia tetap
berkarya, menerima bimbingan mahasiswa, bahkan merampungkan pendidikan
S-2, sesuatu yang saya sendiri belum bisa mencapainya walaupun keinginan
sudah lama ada. Dengar-dengar, bahkan Pepeng sedang siap-siap studi
S-3! Kehadirannya kembali di layar kaca juga telah memberi inspirasi
bagi banyak orang.
Dalam satu acara di TV saya ingat Pepeng berkata: Saya
berdamai dengan penyakit ini. Saya terima dengan ikhlas agar yang
dirasakan hanya sakitnya fisik, bukan jiwa. Kurang lebih begitu. Saya
lupa kapan persisnya. Saya juga jarang mengingat apa yang saya tonton di
TV, tetapi sepenggal kalimat Pepeng itu samar-samar masih saya ingat
sampai sekarang. Agar yang sakit hanya raga, bukan jiwa. Pepeng
berikhtiar keras agar ruhaninya tetap sehat. Itu bisa dilakukan karena
Pepeng senantiasa percaya dan berprasangka baik atas keputusan Allah
SWT.
Saya berdoa semoga keterbatasan fisik yang dirasakan Pepeng
sekarang malah membuka ruang kontemplasi yang luas. Perenungan hanya
bisa dilakukan di dalam kesunyian, sebagaimana Rasulullah Muhammad SAW
dituntun Allah pergi menyepi ke gua Hira dan kita manusia biasa
diperintahkan untuk shalat tahajjud di hening malam.
Jika penyanyi Bimbo dan pujangga Taufiq Ismail punya kiasan
“ada sajadah panjang terbentang, dari kaki buaian, sampai ke tepi
kuburan”, perkenankan saya menyebut perjalanan Pepeng ini sebagai
“tahajjud panjang” yang tak berbilang rakaat. Inilah jalan sunyi ketika
tafakur dan tadabbur dijalankan di tengah keheningan batin hingga
berbuah tasyakur tak berujung. Itulah Pepeng.
Maha Besar Allah, Dia sedang menuntun sahabatku menuju pencerahan spiritual.
Jakarta, 7 Oktober 2014.
Anis Matta
0 komentar:
Posting Komentar