Rabu, 25 Februari 2015

Telapak Tangan Bukan Termometer Untuk Selamatkan Anak

Menempelkan telapak tangan ke dahi di Buyung atau si Upik bukan cara
tepat untuk menggolongkan suhu badannya panas, normal, atau dingin.
Naiknya suhu tubuh bukan serta merta petunjuk ia harus diminumi obat
turun panas.Dr. Paul Zakaria daGomez, ahli imunologi dari RS Harapan
Kita, menguraikan duduk persoalannya, termasuk kapan obat turun panas
diperlukan.

Setiap hari televisi menyuguhkan pelbagai macam iklan obat penurun
panas. Semuanya mengklaim serba cespleng! Orang tua mana yang tidak
cemas kalau anaknya menderita panas? Nomor satu pasti buru-buru mencari
obat penurun panas, entah dari lemari obatnya sendiri, beli di warung,
atau minta tetangga.

Setiap kali anak kita tidak enak badan, pasti gerakan refleks kita
langsung menempelkan tangan ke dahi atau lehernya. Tapi telapak tangan
sebagai alat pengukur panas sebenarnya bersifat sangat subyektif.
Artinya, ia tidak dapat digunakan sebagai patokan untuk menggolongkan
apakah suhu seseorang panas, normal, atau dingin.

Seseorang dengan metabolisme tubuh rendah atau menderita anemia di mana
suhu tangannya lebih dingin, akan lebih peka bila meraba seseorang yang
suhu tubuhnya tinggi dibandingkan dengan mereka yang metabolisme
tubuhnya normal dan suhu tangannya lebih hangat. Karena tingkat
metabolisme dan mekanisme sirkulasi darah tiap individu bervariasi,
sudah tentu mengukur suhu badan seseorang dengan punggung telapak tangan
tidaklah tepat.

Karena itu setiap keluarga hendaknya menyediakan termometer air raksa
yang harganya relatif murah. Alat pengukur panas ini lebih bisa
diandalkan. Dalam keadaan sangat mendesak data tersebut bahkan bisa
langsung dikonsultasikan ke dokter lewat telepon.

Mekanisme kekebalan
Suhu rata-rata tubuh normal dan sehat seseorang menurut beberapa
peneliti barat seperti Becquerel dan Berscher (1835) dan Wunderlich
(1868), adalah 37 C. Suhu tubuh normal seseorang sesungguhnya bervariasi
tergantung pada waktu pengukuran (pagi, siang atau malam), tempat
pengukuran (dalam rongga mulut, di ketiak, atau dalam dubur), faktor
usia serta tingkat metabolisme (sebelum atau sesudah makan, sebelum atau
setelah melakukan aktivitas fisik). Pengukuran suhu dengan termometer
lewat rongga mulut atau dubur akan lebih tepat daripada lewat ketiak.

Suhu tubuh paling rendah pada pagi hari (5.00 - 6.00) dan paling tinggi
senja hingga malam hari. Perbedaan antara suhu terendah dan tertinggi
bervariasi, sekitar 0,3 C-1,5 C. Semula perbedaan itu diduga hanya
karena perbedaan cuaca, suhu serta kelembapan saja, ternyata juga karena
faktor irama diurnal (saat tidur dan melek) yang berkembang sejak usia 1
- 2 tahun dan berlangsung terus seumur hidup.

Suhu tubuh rata-rata orang dewasa di bawah 37 C. Seorang peneliti,
Horvath SM dkk. pernah meneliti 54 orang dewasa muda (usia 23 tahun)
selama beberapa bulan dengan kesimpulan, nilai rata-rata suhu rongga
mulut pada pagi hari 36,5 C dan malam hari 36,8 C. Peneliti lain,
Dinarello dan Wolff dari Inggris melaporkan, hasil penelitian pada
sembilan orang dewasa mudah (22 tahun), dalam seharinya rata-rata suhu
badan mereka 36,6 C dengan nilai terendah 36,4 C dan tertinggi 36,8 C.
Suhu rata-rata rongga mulut orang tua lebih rendah daripada orang muda,
tetapi suhu duburnya sama.

Padahal suhu anus biasanya lebih tinggi daripada suhu rongga mulut.
Perbedaan ini sangat bervariasi. Pada orang muda, suhu lubang keluaran
itu rata-rata 0,56 C lebih tinggi daripada suhu rongga mulut.

Pada anak usia kurang dari 12 tahun, suhu tubuh waktu malam hari sering
lebih tinggi, rata-rata 37,4 C. Sebagai pedoman kasar, suhu tubuh anak
yang tidak melebihi 38 C (antara 36 C - 38 C) tidak perlu dirisaukan
karena belum merupakan indikasi untuk diberi obat penurun panas. Karena
sebenarnya suhu yang agak panas malah diperlukan untuk pertumbuhan dan
sebagai salah satu mekanisme untuk mempertahankan tubuh dari serangan
infeksi atau masuknya benda asing ke dalam tubuh.

Hal ini pernah dikemukakan oleh seorang ahli imunologi - infeksi dari
Belanda, van den Meer. Kemudian, ia mengingatkan hendaknya pemakaian
obat penurun panas terlalu dini berarti tidak memberikan kesempatan pada
tubuh untuk melaksanakan fungsi mekanisme pertahanan tubuh (kekebalan).
Kalau jamur yang sedang tumbuh (misalnya pada oncom dan tempe)
menghasilkan panas dan membutuhkan kalori, demikian pula manusia. Tumbuh
kembang anak lebih pesat daripada orang dewasa sehingga secara otomatis
menghasilkan panas lebih banyak pula.

Menurunkan panas tanpa obat
Untuk mengatasi demam, lebih baik mengusahakan dulu dengan menyeka
seluruh permukaan tubuh beberapa kali (terutama sewaktu suhu tubuh
meningkat) dengan handuk kecil dibasahi air hangat. Tindakan ini akan
melancarkan sirkulasi darah dan membuka pori-pori kulit sehingga
memberikan kesempatan panas keluar dari tubuh ke lingkungan sekitarnya.
Ruang ventilasi yang baik di mana udara berlangsung secara teratur atau
kamar ber- AC, sangat dianjurkan untuk merawat penderita demam.

Pakaian yang sudah basah karena keringat hendaknya segera diganti dengan
yang kering. Sebaiknya dari katun yang lebih mengisap keringat, bukan
yang sintetis. Bila usaha ini tidak berhasil dan suhu badan mencapai 38
C, barulah penderita diberi obat penurun panas (anti- piretika). Dosis
obat penurun panas jenis asetaminofen, yang umum dijual di warung atau
apotek seperti Tempra, Panadol, Parasetamol, dll adalah 10 mg/kg berat
badan/hari dibagi 3 dosis (diminum 3 kali sehari).

Bila sudah diberi obat penurun panas dua kali tetapi suhu badan tetap
belum turun juga, berkonsultasilah ke dokter. Mungkin demam yang
diderita bisa karena infeksi bakteri yang agak berat yang tidak bisa
mengandalkan mekanisme kekebalan tubuh atau obat penurun panas saja,
tapi memerlukan obat antibiotika. Biarlah dokter yang menentukan
pemilihan obatnya.

0 komentar:

Posting Komentar